Mengenang Prof. T. Jacob

Saya benar-benar kaget ketika mengetahui bahwa Prof. Teuku Jacob telah tiada dua bulan yang lalu (17 Oktober). Saya mengetahuinya dalam kolom pojok Kompas yang memuat berita kematian seorang guru besar antropologi UI Prof. Suparlan, yang disebut meninggal dalam kesendirian dan kesunyian seperti yang dialami oleh Prof. T. Jacob. Aneh, disaat arus informasi sedemikian cepat, saya baru mengetahui berita lelayu ini 2 bulan setelahnya.
Pertemuan dengan tokoh-tokoh seperti Prof. Teuku Jacob selalu istimewa. Pertemuan itu terjadi hanya 2 jam di rumah beliau, di Sekip Yogyakarta, saat saya menjadi Steering Committee HPTT ke-56 Fsayaltas Teknik UGM. Kesan pertama terhadap beliau adalah bahwa beliau orangnya perfeksionis. Dan karena sifat perfeksionis tersebut saya harus kena damprat. Seorang teman (perempuan) menelpon beliau minta ijin untuk ketemu. Ketika beliau melihat yang datang adalah saya, beliau bilang :”Kemarin yang menelpon perempuan, kok yang datang laki-laki”, sergah beliau tanpa memersilakan duduk lebih dulu. Terus selama dua jam saya “dikuliahi” tentang profesionalisme, intelektualitas, logika –beliau marah-marah ketika saya mengucapkan kata-kata yang secara logika rancu, dan kata itu adalah “terkait”, kemahasiswaan –yang menurut beliau sekarang kualitas mahasiswa sangat rendah, kemanusiaan –sambil menceritakan ide dan gagasan beliau dalam pembangunan kampus UMS terpadu yang “manusiawi” dan “integratif” serta mengembalikan konsep universitas kepada asalnya. Dan kita banyak diskusi tentang seminar tersebut hari itu, tetang tema dan pembicara seminar, tentang arah, tujuan dan sasaran seminar, bahkan berbicara tentang kondisi bangsa secara umum. Benar-benar diskusi yang menarik. Bukan karena tema diskusi, tapi karena penempatan beliau yang menyejajarkan diri dengan saya yang hanya mahasiswa biasa ini (perlsayaan yang sama pernah saya dapatkan ketika bertemu Prof. Kusnadi Harjasumantri). Diakhir pertemuan tersebut beliau memberi komentar kepadsaya, “jarang ada mahasiswa yang mampu bertahan berhadapan dengan saya selama ini”. Tentu saja saya anggap sebagai pujian, dan saya bangga dipuji oleh orang sekelas Prof. Teuku Jacob.
Prof. T. Jacob merupakan salah satu ilmuwan bangsa generasi pertama Layaknya ilmuwan generasi pertama, hidupnya sangat sederhana, komitmen yang tinggi terhadap ilmu yang ditekuninya, yaitu Paleoantropologi (ini mengherankan, karena beliau adalah seorang dokter tetapi membenci darah). Istilah ekstrimnya, buku-buku menjadi istri pertamanya. Inilah tipologi ilmuwan sejati, bukan ilmuwan salon. Beliau adalah ilmuwan generasi pertama yang meneliti Pithecantropus erectus. Beliau pernah menjabat Rektor UGM periode 1981 – 1986, tepat sebelum Prof. Kusnadi Hardjasumantri menjabat.
Karena komitmennya terhadap ilmu yang ditekuninya, banyak yang mengatakan beliau menjalani semacam asketisme intelektual. Sengaja menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan luar kampusnya, tidak peduli dengan dunia di luar ilmu yang ditekuninya, semacam sosok di menara gading kehidupan. Tapi menurutku itu tidak benar. Menjauhkan diri tidak berarti beliau tidak mengerti dan tidak peduli pada kehidupan diluar dirinya. Banyak tulisan-tulisan beliau di media massa, baik local (seperti Kedaulatan Rakyat) maupun nasional, membuktikan bahwa beliau sangat memahami persoalan hingga ke intinya. Dan masyarakat selalu menjadi perhatian utama beliau. Bukankah itu salah satu bentuk kepedulian beliau terhadap edukasi masyarakat ?
Mungkin benar, bahwa tipologi ilmuwan generasi pertama sangat mencintai ilmunya melebihi cinta pada dirinya sendiri. Itulah mengapa ilmuwan seperti mereka kurang begitu memerhatikan kesehatan. Dan kematian mereka yang begitu mengagetkan, dalam kesunyian dan kesendirian memperkuat dugaan tersebut.
Tetapi, dibalik itu semua, banyak teladan yang ditinggalkan oleh mereka kepada genarasi berikutnya, termasuk kita, bukan?

2 respons untuk ‘Mengenang Prof. T. Jacob

  1. Kita semua merasa kehilangan sesuatu yang sangat besar. Saya juga datang kerumah beliau, seperti biasanya setiap nostalgi ke Yogya. Waktunya sehari sebelum “International Conferece on Palaeo-anthropology, dimana saya akan presentasikan “lontar sasak” identik dengan “papirus”nya Mesir. Beliau sudah bertongkat namun tetap mengikuti sidang-sidang selama 5 hari itu. Semoga arwahnya ditempatkan Allah YME disisiNya.Amin

  2. rusman hadi berkata:

    Saya baru tahu tahun 2009,,, jujur saya pengagum berat beliau,, tulisan di koran KR selalu saya kumpulkan. Jarang ada sosok ilmuwan yang sederhana, cerdas, dan mampu mengharumkan nama bangsa . Selamat jalan Prof. semoga tuhan menempatkan anda disisnya yang mulia. Muridmu yang tak pernah kau lihat

Tinggalkan komentar