My Life in Japan: Part 2 Gowes ke Kure

Sabtu, 26 April 2014, tercipta sejarah di kalangan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Hiroshima University. Konon katanya, ini pertama kali kegiatan gowes dengan menempuh jarak jauh, dan kota tujuannya adalah Kure, sebuah kota pelabuhan di prefektur Hiroshima yang berjarak sekitar 30 km dari Higashi-hiroshima. 

Gambar 1

Sesaat sebelum berangkat

Perjalanan dimulai ketika aku bangun kesiangan. Seperti biasa, selepas shalat shubuh aku tidur lagi dan tahu-tahu bangun saat jam sudah menunjukkan jam 06.50 padahal janjian ketemu jam 07.30.Ada waktu 40 menit tersisa. Karena butuh 30 menit nggowes dari apato ke kampus, maka hanya tersisa 10 menit. Langsung kuambil hape dan hubungi Andhang (sang korlap) kalau aku baru bangun, dan tolong ditunggu. Setelah mandi secepatnya dan sarapan seadanya, dan masukin semua barang ke dalam tas, langsung cabut ke meeting point di kampus. Walhasil, sampai kampus jam 08.00, dan telat setengah jam. Di kampus sudah menunggu anggota rombongan delapan orang: Teguh, Wisnu Adi, Arif, Afit, Andhang, Romadhon, Roni, dan Andi.

Oke, setelah berdoa bersama, perjalanan panjang-pun dimulai dari jam 08.11. Belum 5 km jalan, masalah sudah datang menghampiri. Jam 08.45, ban sepeda Roni kempes dan bocor. Jadilah kita berhenti memperbaiki sepeda itu. Tidak seperti di Indonesia, yang dengan mudah dapat ditemui tukang tambal bab, di sini lain sekali kondisinya. Kita harus menambal ban itu dengan kemampuan kita sendiri. Setelah berjibaku dengan peralatan seadanya selama 1,5 jam lebih, kita berhasil memperbaiki sepeda itu. Yang menarik selama proses penambalan ban itu adalah kita didatangi oleh seorang nenek yang tinggal di seberang jalan tempat kita menambal ban. Mungkin dia heran, apa yang dilakukan oleh sekelompok anak muda di pinggir sebuah gudang di depan rumahnya. Setelah nanya ini itu, dan ngobrol santai dengan sang nenek, nenek itu kembali ke rumah. Tak selang berapa lama, kita dipanggil oleh nenek itu, dan ternyata kita dibuatin kopi dan dikasih snack. Wow, what a surprise and thank you for the hospitality, Obachan…

 

Perjalanan dilanjutkan lagi. Selepas insiden tambal ban itu, medan jelajah menanjak sangat tajam. Tajam sekali. Sepedeku terasa sangat berat, dan keluar sedikit bunyi dari roda depan. Lantas, kita pun memutuskan untuk berhenti sebentar di atas, istirahat sambil memeriksa sepedau. Ternyata, roda depan sepeda agak menempel ke cakram, sehingga terasa lebih berat putarannya dan keluar bunyi gesekan. Jadilah insiden kedua, kita bongkar lagi roda depan sepeda dan membenarkan posisinya supaya lebih laju dan tidak keluar bunyi gesekan. Mungkin butuh waktu sekitar setengah jam untuk istirahat dan memperbaiki roda depan sepedaku.

Setelah semua beres, perjalanan dilanjutkan. Tak berapa lama, kita sampai di turunan yang breathtaking. Turunan tajam dan berbelok-belok. Sebenarnya pemandangannya luar biasa indah, di kiri jalan terbentang lansekap alam yang elok. Tetapi karena kita harus fokus ke jalan, kita tidak bisa leluasa menikmati alam ciptaanNya itu, apalagi mengabadikannya. Sebelah kanan tebing (bukit) yang menjulang, tertutup sebagian dengan pepohonan sehingga tampak hijau. Di sebelah kiri lembah yang tidak begitu dalam dengan sungai yang air jernihnya yang mengalir, danau, dan pepohonan dengan rupa daun yang beraneka warni, sungguh memanjakan mata sebenarnya.

GambarGambar

Insiden pertama dan kedua

Beberapa kota kecil (mungkin lebih tepatnya kampung) dilewati selama perjalanan ini. Meski kota kecil, tetapi infrastruktur sarana dan prasarana umum tampak demikian bagus tersedia. Jalanan tetap saja mulus. Kota-kota kecil itu juga relatif bersih, malah sangat bersih. Lahan pertanian yang kering, hanya terlihat ditanami sayur-sayuran. Di beberapa tempat terlihat pertanian dengan menggunakan rumah kaca. Tanaman yang tidak seberapa banyak itu juga terlihat ditutup dengan semacam kelambu, mungkin untuk mencegah serangan hama. Yang menarik, sepanjang jalan yang terlihat hanya orang-orang tua (manula) yang melakukan aktifitas, hanya sedikit terlihat aktifitas anak muda. Aku ga tahu, pada kemanakah anak muda di kota-kota kecil itu. Apakah mereka pada mengadu nasib ke kota (urbanisasi), atau yang lain. Tapi yang jelas, hal ini seperti membuktikan tentang profil demografi Negara Jepang yang memang didominasi oleh orang tua.

Entah sudah berapa kilo dilalui, dan entah berapa kota kecil yang telah dilalui, dan entah berapa tanjakan yang telah ditaklukkan, kita istirahat di Honjou Lake Par, untuk sekedar meregangkan badan dan shalat. Selepas shalat dan istirahat sebentar, perjalanan dilanjutkan, dan tepat setengah 2 siang kita nyampe di Kure.

GambarGambar

 

Gambar

 

Karena sudah siang, jauh melebihi target yang ditetapkan, maka jalan-jalan ke Kure pun hanya sebatas di museum kapal. Dari sana, aku baru paham kalau kapal perang terbesar dijamannya, Yamato, dibuat di galangan kapal di Kure, dan Kure pernah menjadi basis pembuatan kapal-kapal tempur Jepang lainnya selama PD II. Kita sempatkan masuk ke museum kapal selam, yang mirip dengan yang ada di Surabaya.  Didalamnya dipajang miniatur kapal perang Yamato, ranjau laut dan aktifitas penghapusan ranjau laut, serta teknologi kapal perang terbaru. Menarik, karena museum itu diatur sedemikian sehingga membentuk sebuah narasi yang indah. Tidak menunggu lama, perjalanan kembali ke Saijo harus segera dilakukan, karena waktu sudah sore. Jadi, acara jalan-jalan ke Kure praktis hanya dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kita mampir dulu di sungai Nikogawa untuk shalat ashar, setelah makan siang di Sukiya.

Gambar

Perjalanan pulang mengambil rute yang berbeda dari rute keberangkatan. Kali ini jarak yang ditempuh lebih jauh, tetapi dengan medan yang tidak seberat keberangkatan. Banyak kejadian yang tidak terduga selama perjalanan pulang ini. Diantaranya adalah pedal kanan sepeda Andhang lepas, sehingga beberapa kali harus mengalami perbaikan. Perbaikan dilakukan dengan berbagai macam cara, mulai dari dikasih plastik, aluminium kaleng, kain hingga diikat dengan tali untuk memasang pedal yang lepas. Selesai satu jenis perbaikan, sepeda dipakai dan tidak sampai 100 meter pedal lepas lagi. Begitu berkali-kali hingga kita banyak berhenti dan memperbaiki sepeda. Setelah menyerah dengan kondisi tersebut, maka diputuskan perjalanan tetap dilanjutkan dengan Andhang hanya memakai satu pedal. Apabila jalanan menanjak dan Andhang tidak kuat menggenjot sepedanya, maka kita berjalan hingga jalanan kembali menurun dan Andhang bisa menggenjot sepedanya dengan hanya satu kaki.

Insiden selanjutnya adalah sepeda Wisnu terkena paku sehingga mengalami kebocoran di tiga titik sekaligus. Insiden terjadi pada malam hari, dan perjalanan masih menyisakan 16 km lagi ke arah Saijo. Saat itu jam sudah menunjuukan jam 9.00 malam. Setelah perjuangan menambal ban selama 1,5 jam, perjalanan dilanjutkan di tengah kegelapan malam, saat jalanan sudah mulai sepi. Di salah satu ruas jalan, karena gelap dan jalan di depan tidak terlihat, aku hamper nabrak trotoar jalan. Belum sempat nabrak, rem cakram depan kutekan kuat-kuat, dan hasilnya tetap: aku tetep jatuh terguling-guling. Untungnya hanya sedikit lecet di lengan Doppelganger-ku hehe..

Gambar

Jam 11.30 malam, kita semua sudah nyampe di kampus, Sepertinya perjalanan ini meninggalkan banyak kenangan, sekaligus antusiasme untuk kembali menjelajah Jepang dengan nggowes.

Perjalanan yang mengesankan, menyenangkan, dan menegangkan

Next trip: Takehara 🙂

Gambar

My Life in Japan (Part 1. Kedatangan)

Hari ini dua minggu sudah aku tinggal di Higashi-Hiroshima, sebuah kota kecil di Prefektur Hiroshima, tempat Hiroshima University (Hirodai) berada. Di sini, aku akan tinggal hingga tiga tahun ke depan untuk menyelesaikan studi. Meski sudah seminggu di sini, rupanya masih sulit buatku untuk beradaptasi dengan iklim dan cuaca di sini. Perubahan suhu udara dan kelembaban udara dalam satu hari sangat ekstrim. Bisa jadi saat pagi suhu udara 5 – 6oC dan pada siang hari jam 2 bisa mencapai 20 – 21oC. Kelembaban udara juga rendah, membuat kulit cenderung kering dan pecah-pecah.

Banyak hal menarik yang aku rekam selama tinggal di sini. Yang pertama tentu saja adalah kekagetan saat hendak mendarat ke Hiroshima Airport dengan Japan Air Lines (JAL). Sebelumnya, aku memang tidur di pesawat selama perjalanan dari Haneda Airport (Tokyo) ke Hiroshima Airport, karena memang kondisi tubuh yang sangat lelah setelah menempuh perjalanan jauh dari Bandung – Jakarta – Narita (Tokyo) – Haneda (Tokyo). Begitu terbangun, yang terlihat adalah deretan gunung yang menjulang dan peswat seolah-olah terbang di antara puncak-puncak gunung itu. Apalagi, diikuti dengan turbulensi angin yang lumayan tinggi dan pesawat yang sedikit terguncang-guncang. Sontak, rasa kaget dan takut muncul seketika karena dalam beberapa hari sebelumnya pikiran sudah dipenuhi oleh berita tentang hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH370 (yang sampai sekarang masih belum jelas nasibnya). Seperti biasa, manusia kalau ketakutan dan terancam, maka yang pertama diingat adalah Tuhan. Maka aku berdoa sebanyak-banyaknya, dan segala macam ayat suci Alquran kubaca: Ayat kursi, Al-Ikhlas, An-Nash, baca shalawat kepada Nabi SAW, sampai istighfar berkali-kali. Segala pemandangan indah di bawah seperti tidak ada artinya. Dan ternyata, Hiroshima Airport memang berada di atas dataran tinggi. Tanggal 31 Maret 2014 jam 16.50 JST (Japan Standard Time), Alhamdulillah, aku menjejakkan kaki untuk pertama kali di Hiroshima dengan selamat sentosa tak kurang satu apa-apa.

Bandara Hiroshima tidaklah besar. Tidak sebesar bandara Kansai (Osaka), apalagi Haneda atau Narita. Mungkin bila dibandingkan dengan bandara di Indonesia, setara dengan bandara Adisutjipto Yogyakarta. Sampai di bandara, sesuai dengan rencana, aku akan dijemput oleh tutorku selama tinggal di Hiroshima. Namanya Masato Morishita. Tugas tutor terutama adalah membantuku untuk membiasakan hidup selama tinggal di Jepang, dan membantuku mengurus keperluan-keperluanku selama awal-awal tinggal di Jepang, seperti mendapatkan resident card dan insurance card di City hall, menjelaskan peraturan tentang pembuangan sampah, jalur bis dan kereta, serta kehidupan kampus pada umumnya. Lewat email sebelumnya, dia mengatakan akan membawa kertas bertuliskan: Hi Ariel, It is Morishita, jadi aku akan bisa langsung mengenali dia. Yup, ternyata tidak sulit mencari Morishita-san, karena memang bandaranya yang relatif kecil dan sepertinya sangat sedikit “penjemput”, dan dia satu-satunya orang yang membawa kertas. Kupikir Morishita akan menjemputku dengan naik bis atau kereta (belakangan aku ketahui kalau bandara Hiroshima tidak terkoneksi dengan jaringan kereta api), tetapi ternyata dia menjemputku dengan membawa mobil sendiri.

Apa yang bisa kuceritakan dari sosok Morishita ini? Morishita ini mahasiswa tahun akhir program undergraduate di Hirodai, dan akan memasuki program Master tahun ini. Aku taksir usianya mungkin 22 tahun. Sebagaimana umumnya orang Jepang, Morishita ini sulit berbicara dalam bahasa Inggris, dan sulit mengerti dengan apa yang kubicarakan (apa karena bahasa Inggrisku yang buruk ya?). Jadi sepanjang jalan dia mengantarku ke kota Higashi-hiroshima dari bandara, aku lebih banyak diam dan hanya sesekali saja berbicara. Selama perjalanan, terlihat benar bagaimana etika dia di jalanan. Saat belok, dia akan lebih mendahulukan kendaraan didepannya untuk lewat terlebih dahulu dan setelah agak sepi baru dia berbelok. Begitu juga, meski dia bisa lewat, tetapi ketika ada penyeberang jalan, maka dia pun berhenti dan memberikan kesempatan kepada pejalan kaki untuk menyeberang terlebih dahulu. Kupikir, ini adalah buah dari pendidikan yang dia dapatkan sejak dari anak-anak.

Gambar

Hi Ariel-san, It is Morishita-san

Selama perjalanan dari bandara ke kampus, sepanjang jalan aku melihat pemandangan yang menurutku unik dan indah, seperti sebuah lansekap khas Jepang. Sawah yang sebenarnya tidak bergitu luas, dengan latar belakang bukit-bukit yang dapat dikatakan hijau, dan rumah-rumah dengan gaya tradisional Jepang, baik sendirian yang berdiri di tengah-tengah sawah ataupun berkelompok. Sangat epic. Mungkin jika di Indonesia daerah-daerah tersebut adalah kawasan pedesaan, tetapi yang membedakan adalah infrastruktur yang sangat bagus. Jalan licin dan mulus, seperti setiap hari disapu dan dipel, bersih. Jumlah kendaraan yang lalu lalang sedikit meski akses jalan lebar dan besar. Indah

Di tengah jalan, Morishita menyodorkan selembar kertas yang ternyata berisi jadual hari ini dan besok. Ah, dasar orang Jepang, apa-apa selalu dibuat detail dan harus sesuai dengan jadual. Jam sudah menunjukkan jam 6 sore, tapi di jadual saya harus menemui Sensei hanya untuk say hello. Aku tanya ke dia, yang intinya seperti ini: “Dalam tradisi/adat/kultur Jepang, apakah menemui Sensei harus dilakukan pada hari pertama kedatangan seperti ini?”, sambil berharap bahwa aku bisa menemui Sensei besok aja. Aku bener-bener butuh istirahat. Ternyata jawaban Morishita adalah: “Iya”… Ya sudahlah,sore itu juga aku menemui Sensei, say hello, dan oleh Sensei malah diajak keliling kampus dan lab, dan saat itu juga aku dikasih kunci lab tempat aku bekerja. Oh my God. Sempat juga berbincang-bincang dengan beberapa pelajar Indonesia yang kutemui dan bekerja di lab yang sama. Yang mengagetkan, malam itu juga ternyata aku sudah bisa memakai kamar di apartemen. Semua diurus oleh Sensei. Sugoi.

Hari kedua, agendaku lumayan banyak bersama Morishita. Diantaranya adalah mengurus resident card dan asuransi di City Hall, mengurus kontrak dengan perusahaan gas, serta mencari cellphone. Saat mengurus resident card dan insurance health di city hall, yang terlihat adalah efisiensi dalam pelayanan. Pegawai (yang aku yakin PNS) sangat efektif dalam melayani masyarakat. Senyum, dan proaktif. Jika tampak ada orang yang kebingungan, didatangi dan ditanya ada kesulitan apa. Satu orang sepertinya bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus (multitaskin). Terlihat banyak meja tetapi kosong. Aku yakin ini bukan karena pegawainya pada bolos, tetapi karena pegawainya terlihat lari ke sana ke mari, beralih dari satu meja ke meja yang lain. Sehingga, dalam 1 jam saja segala urusanku dah kelar. Satu lagi, suasana kantor pelayanan tersebut sangat bersih, dan ada tempat bermain untuk anak-anak didalamnya. Luar biasa

Dari sana, aku diajak Morishita untuk membuka rekening bank di Hiroshima Bank (Hirogin). Kali ini prosesnya agak lama, dan aku ga tahu apa yang membuat lama. Apakah karena aku orang asing? Sekitar 2 jam waktu yang kuhabiskan di bank ini. Itupun hanya jadi buku tabungannya aja, tanpa ATM. Tapi untungnya, kita bisa mengambil (dan memasukkan) uang di ATM tanpa kartu ATM. Kartu ATM bisa digantikan dengan buku tabungan. Jumlah yang diambil (atau dimasukkan) dapat langsung tercetak di buku tabungan. Sekali lagi, speechless dengan sistem di Jepang yang serba otomatis.

Setelah dari bank, perjalanan dilanjutkan ke Softbank untuk mencari nomor telepon buatku. Selain pembukaan rekening bank, nomor telepon sangat penting jika tinggal di Jepang. Hampir semua transaksi dilakukan dengan mendebet secara otomatis dari akun bank, dan hampir semua kontrak (gas, listrik, air) juga mensyaratkan nomor telepon dan akun bank. Namun sayang, malam itu aku ga bisa langsung dapat nomor telepon karena belum dapat student card. Ya sudah, perjalanan dilanjutkan ke toko untuk membeli perlengkapan sehari-hari seperti bantal, selimut, pokoknya semua keperluan sehari-hari. Malam jam 10 sampai di apartemen, dan zzzz

Selanjutnya, tanggal 3 April, adalah hari dimana mahasiswa baru mengikuti entrance ceremony dan dilanjutkan dengan orientasi di graduate school. Secara sengaja, aku ga hadir di acara entrance ceremony, karena males aja. Ini semacam acara penyambutan mahasiswa baru oleh rektor Hirodai. Tapi aku hadir di acara orientasi di graduate school. Orientasi ini semacam “preambule” untuk orientasi-orientasi yang lebih intensif bagi mahasiswa baru, terutama international student. Orientasi ini sangat menarik dan langsung menghujam ke jantung kita, karena menyangkut diri kita selama kuliah di kampus ini dan tinggal di kota ini. Beberapa pengantar untuk course-course yang lebih intensif diantaranya adalah: etika akademik, sistem online bagi para mahasiswa bila ingin memasukkan ataupun mengunduh segala macam informasi akademik (di sini disebut Momiji system), information security, ijin parkir di kampus, orientasi perpustakaan, sampai ke soal-soal seperti misalnya sexual harrasement di kampus, peraturan lalu lintas di kota Higashi-hiroshima, kursus bahasa Jepang, hingga tawaran program-program internship dan pendanaan penelitian, dan sebagainya-dan sebagainya.

Ya, termasuk didalamnya adalah sexual harrasement. Oleh tutor (seorang profesor), diperlihatkan bagaimana Hirodai berusaha menjadi sexual harrasement free campuss dengan segala macam kebijakan yang dilengkapi dengan semacam “pusat konsultasi” apabila terjadi sexual harrasement, baik oleh sesama mahasiswa, rekan sejawat, bahkan oleh profesor sekalipun. Diberi contoh-contoh dan jenis tentang sexual harrasement yang bahkan akupun tidak pernah terpikir sebelumnya. Apabila contoh-contoh itu kutarik ke dalam konteks orientasi mahasiswa baru di Indonesia, aku ga tahu lagi bagaimana memberi nama orientasi mahasiswa baru di Indonesia. Full off harrasement instead of growing intellectuality and maturity up. Seandainya orientasi mahasiswa baru di Indonesia dibuat seperti ini, pasti akan menarik (tapi tidak menarik bagi yang memelihara rantai dendam J)

Cukup dulu catatanku, nanti kita lanjut lagi dengan hal-hal menarik lainnya.

Cheers,

Gambar

Meretas Masa Depan Kamase

Apa yang pernah dulu kita impikan bersama, cita-cita, harapan, dan hasrat untuk menjadikan Kamase sebagai lembaga kemahasiswaan yang besar, saat ini sedikit demi sedikit mulai memperlihatkan wujudnya.

Momentum datang, dan Carpe Diem!!!…Kamase Goes to Mumbai and became major winner in Mondialogo Engineering Award (MEA). Berturut-turut Kamase diundang itu berbicara dalam berbagai seminar/simposium, baik yang skala lokal, nasional, maupun internasional.

Semua ini menjadi hal yang membanggakan, termasuk bagi saya, meskipun saat ini tidak duduk dalam kepengurusan aktif. Perasaan sebagai founding father seolah mengabsahkan perasaan yang ada dalam diri. Setidaknya, apa yang dulu kami lakukan tidak sia-sia dan bukan sekadar mencari sensasi, tetapi benar-benar dilandasi oleh idealisme (istilah yang mungkin sekarang sangat asing bagi mahasiswa).

Keberhasilan ini membawa konsekuensi-konsekuensi, yang tentu saja tetap harus disikapi agar lembaga ini tidak tertinggal dalam dialektika sejarahnya. Keadaan semakin berkembang, banyak yang harus dilakukan, sehingga kebutuhan-kebutuhan yang dulu tidak pernah terpikir sekarang harus dipikirkan. Banyak tantangan dan ancaman ke depan yang harus dihadapi, termasuk vested interested dari berbagai pihak, termasuk pihak internal. Jaringan yang terbentuk pun lebih luas daripada apa yang kami (angkatan 2000) lakukan dulu, bahkan jaringannya mampu menembus level internasional. Jaringannya betul-betul riil, bukan sekadar jaringan-jaringan yang hanya ada di dunia maya. Prestasi yang luar biasa tentunya.

Maka, sebagaimana hukum materi, maka Kamase harus bergerak dan berubah untuk merespon perkembangan ini. Perubahan ini diperlukan, agar Kamase tidak tertinggal oleh laju sejarah yang semakin kencang. Maka tak heran bahwa dalam beberapa pertemuan, antara alumni (aku dan anto) dengan para new kamase-ers (angkatan 2003 dan 2005) selalu muncul wacana-wacana yang mencoba untuk mereposisi Kamase. 

Wacana yang menarik dan berguna sebenarnya, tetapi aku takut ini malah mengarah pada upaya kontraproduktif, karena waktu kita hanya akan habis untuk membicarakan hal-hal seperti ini. Dalam forum tersebut akhirnya tercetus ide untuk bikin Kamase.com (usaha profit), atau salah satu pembimbing yang mencetuskan ide untuk bikin NGO dibidang energi terbarukan.

Dalam forum tersebut (setelah beberapa kali mengadakan pertemuan di Yogya), setidaknya menghasilkan beberapa point penting, bahwa kamase.org (istilah yang kami ciptakan untuk menunjuk pada kamase yang di kampus) tetap bergerak di dunia kampus sebagai “tempat main” mahasiswa untuk mengasah kemampuan intelektualitas dan manajemen organisasi, sekaligus untuk memperluas jaringan kerja. Tempat untuk memupuk idealisme, sesuatu yang idealnya harus dimiliki oleh mahasiswa. Sementara aku ma anto akan mencoba merintis upaya pendirian kamase.com yang berorientasi pada lembaga komersial (profit) yang bergerak di bidang energi terbarukan.

Sementara untuk NGO, posisinya masih menunggi salah satu perintis pulang dari studi Ph.D di Australia.Kenapa kita mengambil bentuk-bentuk seperti itu? Dan kenapa semua coba untuk diakomodasi? Bagaimana kekuatan kita? Karena kita membayangkan sebuah hubungan yang harmonis (simbiosis mutualisme) antara ketiga bentuk tersebut. Harus diakui, selama ini sumber dana kamase.org tidak jelas, karena kita kukuh dengan independesi kita (bukan berarti kita mendapatkan sumber dana dari tindakan melanggar hukum) –belakangan sikap independensi tersebut digugat, yang justru menunjukkan betapa kamase sangat dinamis.

Sehingga dengan kamase.com, salah satu masalah dalam penyediaan sumber dana bagi gerak dan aktifitas kamase.org terpecahkan. Lantas, apa yang didapat kamase.com? Kamase.org akan memberikan sumberdaya manusia. Dengan demikian, selain dana kamase.org juga akan mendapatkan wadah untuk berkreasi dengan ide-ide dan gagasan mereka.

Demikian juga dengan NGO (rencananya akan diberi nama CREATe), dapat menjadi pendukung utama kamase.com, mengingat tenaga ahli dengan kualifikasi Master dan Doktor akan berada disana. Sehingga, akan muncul sebuah research based company. Lantas apa yang didapat oleh CREATe ? Kenapa kita selalau berpikir untung-rugi dalam sebuah hubungan? Kita belum memikirkan bentuk-bentuk hubungan tersebut, tapi seharusnya (das sein) hubungan yang ada tidak mencerminkan hubungan untung-rugi, tapi lebih pada kesamaan visi, misi, idealisme, dan cita-cita. Selain itu, saat ini kita masih mengandalkan pada hubungan emosional, yang berarti hubungan yang sifatnya kultural. Hal ini membuktikan dominannya pendekatan kultural yang dilakukan oleh Kamase daripada pendekatan struktural.

Waktu (sejarah) yang akan membuktikan efektifitas pendekatan kultural tersebut, dan apabila diperlukan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan modifikasi atas pendekatan tersebut.

Belakangan, muncul gagasan untuk memperluas struktur organisasi agar sesuai dengan kebutuhan. Ini untuk merespon kebutuhan untuk merespon isu sustainable technology, yang meniscayakan pendekatan multidisiplin dan lintas ilmu. Karena itu, kita butuh orang-orang yang mengerti tentang ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam gerakan kamase selanjutnya –demikian argumennya. Saya pikir, untuk merespon isu tersebut kita tidak boleh gegabah. Sebenarnya, ada beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan ketika kita mencoba untuk melakukan perubahan, agar perubahan yang dilakukan tidak membongkar bangunan dasar lembaga tersebut, sehingga ciri dan karakter khas kamase tetap utuh.Yang pertama, adalah sifat independen kamase. Ini merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Ini adalah akidah kamase, dan semua anggota kamase wajib beriman kepadanya. Kamase harus mandiri, dan mampu berdiri di atas kaki sendiri, tidak bergantung kepada pihak lain, sehingga bebas dari intervensi, sehingga bebas berkreasi tanpa dibatasi. Keberpihakan kamase hanya pada rakyat dan kebenaran ilmiah. Itulah idealisme kita yang tidak boleh luntur.

Yang kedua, adalah bahwa kamase lahir dari jurusan Teknik Fisika UGM, sehingga dalam geraknya adalah dari, dan oleh mahasiswa jurusan Teknik Fisika UGM, tetapi untuk rakyat dan kebenaran ilmiah. Pengertian inilah yang kemudian dapat diperluas dan disesuaikan sesuai dengan kebutuhanYang ketiga, visi, misi, dan tujuan kamase adalah energi, terutama energi terbarukan. Maka segala perubahan itu tidak mengeluarkan kamase dari rel-nya, yaitu energi. Berangkat dari hal tersebut, maka perubahan yang hendak dilakukan, terutama pada struktur organisasi, hendaknya dilakukan dengan tidak mencabut identitas kamase (independen dan energi terbarukan).

Mengenai penambahan anggota baru, saya pikir tidak ada masalah kalau memang itu diperlukan dan menjadi kebutuhan yang mendesak serta untuk jangka panjang,  dengan syarat bahwa kamase tetap berbasis pada jurusan Teknik Fisika UGM. Ini berarti yang menjadi lingkar inti, think tank, ataupu motor penggerak kamase tetap mahasiswa Teknik Fisika UGM. Mahasiswa lain sifatnya hanya komplementer semata, untuk menambah khasanah keilmuan di bidang lain agar sustain. Hal ini berarti pengembangan teknologi energi masih menjadi domain utama kegiatan kamase. Ini bukan bermaksud menganaktirikan ataupun diskriminasi terhadap mahasiswa jurusan lain, tetapi adalah sebagai upaya menjaga agar kamase tetap berada di jalur yang benar.

Dan yang tak kalah penting adalah, sejauhmana kekuatan kita untuk tetap mengantisipasi setiap perubahan yang ada. Mahasiswa TF harus seoptimum mungkin diberdayakan, termasuk didalamnya adalah bidang-bidang non-teknis. Bukankah dengan demikian mahasiswa JTF anggota kamase memiliki nilai lebih bila dibanding yang bukan anggota kamase?.

Masih banyak lagi persoalan yang mungkin akan muncul dan membutuhkan respon yang cepat dan bijak. Oleh karena itu, menurut saya perlu dipikirkan bagaimana sebuah organisasi modern bekerja lewat AD/ART, agar setiap perubahan yang dilakukan tidak membuat keluar dari jalurnya. Atau bila tidak diinginkan menjadi lembaga yang birokratis, maka kamase harus merumuskan pendekatan kultural yang mungkin dilakukan, dengan melibatkan komponen utama (pengurus, alumni, dan pembimbing). Di sini, kita lebih mengedepankan pada aspek etis dalam pendekatannya. Pertanyaannya, sejauh mana kemudian kita semua memiliki komitmen terhadap cita-cita dan idealisme Kamase?.

Silsilah keluargaku, 5 generasi yang lalu

Ada beberapa kepercayaan yang diyakini oleh keluarga besar dari ibuku, yaitu bahwa kami adalah keturunan dari Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya Sultan Pajang. Namun belum ada satu dokumenpun yang mampu membuktikan kepercayaan itu. Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan silsilah keluarga besar di tempat nenek. Sayang, silsilah itu terhenti pada enam generasi di atas (perkiraanku sih akhir abad ke -18 atau sekitar akhir tahun 1700-an), padahal Joko Tingkir hidup tahun 1500-an.

Dibawah ini, saya salin ke dalam bahasa Indonesia, karena dokumen aslinya dalam bahasa Arab. Karena itu, banyak nama orang atau nama lokasi yang masih kosong atau bahkan salah (mohon maaf untuk itu), karena keterbatasan saya dalam penguasaan bahasa Arab. Di samping itu, pohon silsilah dibawah ini masih sangat kurang lengkap. Masih banyak yang kosong. Karena itu, jika ada salah satu anggota keluarga keturunan KH. Idris yang mau melengkapi dokumen ini, saya akan sangat senang sekali. Pada akhirnya, sejarah memang harus ditulis.

SILSILAH KETURUNAN KH. IDRIS BAURENO – BOJONEGORO KH. Idris meninggal dan makamnya di Sendang – Baureno, Bojonegoro. KH. Idris berputera 11 orang, yaitu :

  1. H. Mahali, meninggal dan dimakamkan di desa Grenjeng – Baureno
  2. M. Joyodimejo, meninggal dan dimakamkan di desa Baureno
  3. Ny. Hasan Isma’il, meninggal dan dimakamkan di desa Rengel, Tuban
  4. M. Suhud, meninggal dan dimakamkan di desa Rengel, Tuban
  5. M. As’ari, meninggal dan dimakamkan di desa Rengel, Tuban
  6. M. Prawiro, meninggal dan dimakamkan di desa Rengel, Tuban
  7. Ny. Lurah Mlidek, meninggal dan dimakamkan di desa Mlidek – Kedungadem, Bojonegoro
  8. Ny. Pah, meninggal dan dimakamkan di desa Mlidek – Kedungadem, Bojonegoro
  9. Ny. KH. Abdul Jabar, Maskumambang – Sedayu, Lamongan
  10. Ny. KH. Muhammad Taslim, Kebon – Baureno, Bojonegoro (Makam di desa Sendang – Baureno).
  11. H. Yoyib Naib Tambakboyo, dimakamkan di Tambakboyo, Tuban

Dari sebelas orang tersebut memiliki keturunan sebagai berikut :

I. H. Mahali berputera hanya seorang, yaitu Abdurrahim, yang memiliki keturunan sebagai berikut : 1. Ny. Abu (Masning)  2. Ny. Atmo (Dasminah) 3. Ny. Harjo (Supinah) 4. Ny. Sumiati5. Ny. Singgih Citrowijoyo 6. Ny. Marhaban (Safa’ati) 7. Ny. Roasyidin (Makiatun) 8. Ilham

II. M. Joyodimejo, beristri Puteri M. Kromowijoyo dari Blora, memiliki putera yaitu : 1) Abdullah Umar (Prawirodijoyo), Katib pada Kepenghuluan Bojonegoro 2) M. Usman (Joyoadibroto), Asisten Kolektur Nganjuk, meninggal di Baureno 3) M. Basarun (Prawirodijoyo), Naib kota Blora. 4) Ibu Aisyah (Ny. Sumowijoyo) meninggal di Blora 5) Muhammad Badrun (Harjo Subroto), Manteri Penjual, meninggal di Perak, Jombang.   6) M. Khoirun (Joyodisastro), Pegawai BPM, meninggal di Cepu 7) M. Basyarun (Harjosasmito), Pegawai Listrik, Bojonegoro 8). M. Singgih (Citrowijoyo), pegawai BPM, Cepu 9). isatun (Ny. KH. Ahmad Hadi), meninggal di Baureno 10). Zulia (Ny. H. Ridwan)

Dari keturunan KH. Abdul Jabar telah memiliki organisasi dan silsilahnya ada padanya. Demikian juga demikian keturunan K. Muhammad Taslim/Kebon – Baureno telah memunyai organisasi.

Silsilah Keturunan Kiai Muhammad Taslim + Muti’ah

Kiai Muhammad Taslim memiliki 6 (enam) orang putra, yaitu :

1. Fatimah + Suhada’ 

2. Faizah + Muhammad

3. Khadijah + ‘Umar Amir

4. ‘Aisyah + ‘Abdullah Umar

5. Muqarrib + Ramlah

6. Ibrahim (Palang)

Dari enam orang putera tersebut memiliki keturunan sebagai berikut :

I. Fatimah + Suhada’

1. Rasyidah (Kebon), yang memiliki keturunan :

a. Rasyid (Kebon), yang berputera :  a.1. Muhammad Thaha (…)  a.2. ‘Adnan (Jenar)  a.3. Siti Maryam (Kebon)  a.4. Nurhadi (Babat)  a.5. Mashadi (Kebon)  a.6. Mastifah (Jipang)

b. Muhammad Malik (Kebon) 

c. Rais (Kebon), yang berputera : c.1. Muthmainah (Kebon)   c.2. Mazinah (Babat)   c.3. Nurhadi (Kebon)   c.4. Juwariyah (Kebon)   c.5. Ghufran (Kebon)

d. Muthmainnah (Kebon)

e. Faqih (Bulungan), yang memiliki putra: e.1. Suhari (Tuban)  e.2. Muntari (Jenu)  e.3. Muchtar (Jenu)  e.4. Masfu’ah

f. Rahmah (Kebon)  yang berputra : f.1. Siti Basarah (Klutuk)

2. Masfua’ah (Banjaran), yang berputera :

a. Sahid (Banjaran), yang berputera : a.1. Khalil (Bangkil)

b. Sa’idah (Banjaran), yang berputra : b.1. Zainudin  b.2. Ahmad Zubair

c. Fatimah (Banjaran)

d. Umi Maisarah (Banjaran), yang berputera : d.1. Bukhari (Banjaran)  d.2. Sofyan (Bojonegoro)  d.3. Masfu’ah (…)  d.4. Musri’ah (Banjaran)  d.5. Samsudin (Klutuk)  d.6. Ma’shum (Lamongan)

 e. Dahlan (Banjaran), yang berputera :e.1. Muzayin (Banjaran)

3. Safurah (Kapas), yang memiliki keturunan :

a. Umi Kultsum (Kapas)

b. Zakaria (Kapas)

c. Ahmad Ja’far (Kapas), yang berputra :  c.1. Muntamah (Kalimantan)c.2. Masfu’ah (Kapas)  c.3. Kadri (Kapas)  c.4. Maimunah (Tuban)  c.5. Aminah (Tuban)  c.6. Halimah (Tuban)  c.7. Hafsah (Tuban)  c.8. Tiyana (Tuban)

d. Fadhil (Kabunan), yang memiliki keturunan :  d.1. Ma’inah (Kabunan)  d.2. Marhamah (Kapas)  d.3. Munawarah (Balen)  d.4. Yasin (Kabunan)

e. Thayib (Kapas)

f. Latifah (Kapas), yang memiliki putera :  f.1. Halimah (Bangil)  f.2. Ramlah (Kapas)  f.3. Hindun (Madiun)  f.4. Maunah (Kapas)  f.5. Niswatun (Kapas)

4. Shafiyah

5. Marfu’ah (Bangil), yang memiliki keturunan :

a. Khalisoh (Bangil), yang memiliki putera : a.1. Khalil (Bangil)

b. Syafa’at (Kepoh Baru)

6. Ifrasyim (Kebon) yang berputera :

a. Shafwan (Kebon)

b. Hasanah (Kebon), yang memiliki keturunan :  b.1. Mas’amah (Waru)  b.2. Adnan (Kebon)

c. Zalikhoh + Badrun (Payaman), memiliki putra : c.1. Niswatun (Payaman)  c.2. Adnan (Payaman)  c.3. Ni’mah (Tuban)  c.4. Farhan (Payaman)  c.5. Fauzan (Payaman)  c.6. Fathurrahman (Karangasem)  c.7. Muslihah (Karangasem)  c.8. Fadli (Payaman)

d. Marfu’ah, memiliki satu putri : d.1. Shalihah (Ngampal)

e. Abdul Muhaimin (Kebon), yang memiliki keturunan :  e.1. Badi’ah (Kebon)  e.2. Zuhriyah (Karangasem)  e.3. Hafid (Kebon)  e.4. Mahfudz (Kebon)  e.5. Shafwan Hadi (Kebon)  e.6. Khafi’ah  e.7. Arifin  e.8. Insiyah  e.9. Mujib

f. Mahromah (Kebon)

g. Muzayyin (Kebon), Yang memiliki keturunan : g.1. Muhtaram (Kebon)g.2. Muhlishah (Kebon)  g.3. Maftuh (Kebon)  g.4. Hidayah (Kebon)

7. Ra’isyah (…), yang berputera :

a. Badrun Payaman)

b. Masrifah (Bojonegoro), yang berputera:  b.1. Samunah (Bojonegoro)   b.2. Muslimah (bojonegoro)   b.3. Maisrah (Bojonegoro)   b.4. Musriah (Bojonegoro)   b.5. Masfu’ah(Bojonegoro)   b.6. Maftuhah (Bojonegoro)   b.8. Masduki (Rengel)   b.9. Masruhan (Bojonegoro)

c. Umi Kultsum (Rengel), yang memiliki putera :  c.1. Hidayat (rengel)  c.2. Tutik (Rengel)  c.3. …

d. Nurhadi (Payaman), yang berputra:  d.1. Umi (Kebon)  d.2. Muhin (Payaman)  d.3. Akib (Payaman)   d.4. Fakiha (Payaman

e. Muntamah (Bojonegoro)

8. Qamariyah (Kebon), yang memiliki keturunan:

a. Syatibi (Jenar), yang memiliki putera :  a.1. Abdul Ghafur (Tuban)  a.2. Saifudin (Jenar)  a.3. Suhud (Jenar)  a.4. Muhibah (…)

b. Mutamimah (Kebon)

c. Mutahharah (Kebon), yang berputera :  c.1. Samsiyah (Kepohbaru)  c.2. Khairah (…)  c.3. Mujtahidah (Karangasem)

d. Mudhaffir (Kebon)

II. Faizah + Muhammad

1. Abdullah – Pasinan, yang berputra :

a. Ahmad Ja’far (Pasinan)

b. Muqaddas (Pasinan)

c. Siti Fatimah (Pasinan)

d. Halimah (Jati)

e. Misbah (Pasinan), memiliki putera :  e.1. Sadeli (Pasinan), yang berputera : e.1.1. Umi Kultsum  e.2. Shalihin (Montong), yang memiliki putera : e.2.1. Ulya   e.2.2. Farid  e.3. Khairul Anam (Widang), yang berputera : e.3.1. Riza  e.4. Maskunah (Sumberrejo), yang memiliki putera : e.4.1. M. Nur Fajri Alfata   e.4.2. Fitrotin Najizah  e.4.3. Faishal Miladi Ahmad  e.5. Yasa’ (Pasinan) yang berputra : e.5.1. Doni e.5.2. Ilfi

f. Marfu’ah (Rengel) yang berputra: f.1. Abdul Halim (Rengel)   f.2. Ahmad Syairazi (Rengel)  f.3. Umi Taslimah (…)   f.4. Masrifah (Majenang)

g. Nurhadi (Surabaya)

h. Syuhada’ (Jati)

2. Umi Kultsum – Kebun, yang berputera :

a. Muhammad Amin

b. Afifah (…), memiliki putera :  b.1. Ahmad … (…)

c. Ahyat

d. Mahmudah + Ra’is (Kebon)

e. Badrul Anam (Kebon), memiliki keturunan : e.1. Afif (Sulawesie.2. Afifah (Surabaya)

f. Masfiyah (Dunganti), memiliki keturunan : f.1. Masitah (Dunganti)  f.2. …

g. Abdurrahman (Surabaya), yang memiliki keturunan : g.1. Zaki (Bali)  g.2. Zakiah (Surabaya)   g.3. Umi Kultsum (Surabaya)   g.4. Shalihah (Surabaya)

h. Abdurrahim (Kebon), yang memiliki putera :  h.1. Ismah (…),   h.2. Halimah,  h.3. Amri (Kebon),  h.4. Arham (alm),  h.5. Saifullah (Kebon),  h.6. Wahib (Kebon),  h.7. Ghazi (Kebon)

3. Abdul Muchid – Palang, yang berputera :

a. Khadijah

4. Hindun, yang berputera :

a. Badrul Anam

b. Ahyat

c. Amin

5. Syarif – Sendang, yang berputera :

a. Khadijah (Balen), berputera a.1. Muhammad …,  a.2. Hafsah (Balen),  a.3. Muhammad … (Surabaya),  a.4. Wiwik (Surabaya)

b. Umi Kultsum (Baureno), memiliki putera :  b.1. Abdullah Umar (Babat),  b.2. Umi Hanik (Baureno)

c. Muhammad Ma’shum –alm (Madiun), memiliki putera : c.1. Nafi’ah (Jakarta),  c.2. Hidayat (Madiun)

d. Qamariyah (Jati)

e. Soleh

f. Abdul Malik (Kertosono), memiliki keturunan :  f.1. Tutik Inayah (Kertosono),  f.2. Abdul Harits …(Kertosono),  f.3. M. Amin Kurniawan (Kertosono),  f.4. Anik Mutmainah (Kertosono)

6. Abdurrahman,

7. Ra’isah – Payaman, yang berputera :

a. Badrun

b. Masrifah (Bojonegoro)

c. Umi Kultsum (Rengel)

d. Nurhadi (Payaman)

e. Muntimah (Bojonegoro)

8. Qamariyah – Kebon, yang berputera :

a. Syatibi (Jenar)

b. Muthahharah (Kebon)

c. Mutamimah (Kebon)

d. Mudhafir (Kebon)

III. Khadijah + ‘Umar Amir, yang berputera :

1. Masfu’ – Kebon, yang berputera :

a. Syatibi (Jenar), memiliki putera : a.1. Abdul Ghafur (Tuban),  a.2. Saifuddin (Jenar),  a.3. Suhud (Jenar),  a.4. Habit

2. Habib – Singapura, yang berputera :

3. Ma’inah – Jenar, yang berputera :

a. Musri’ah (Kebon)

b. Siti

c. Asiyah (…)

d. Faqih (Babat), memiliki putera :  d.1. Sofyan,  d.2. Nafi’ah,  d.3. Muhammad Yasin,  d.4. Atin,  d.5. Adi

4. Muslimah – Kebon, yang berputera :

a. Mochtar (Jenu), memiliki putera :  a.1. Abdul Khalik (Jenu),  a.2. … (Tuban),  a.3. Muhtadi (Jenu),  a.4. Muhin (Jenu),  a.5. Lilik (Jenu)

b. Khudori (Kebon)

c. Marzuki (Kebon)

d. Sayyid Kunin (Kebon)

e. Hajar

f. Imamah (Kebon)

g. Muzammil (Kebon), memiliki keturunan :  g.1. Munir,  g.2. Makin,  g.3. Afifah,  g.4. Malirah

h. Masrifah (Kebon), memiliki putera : h.1. Ma’shum,  h.2. Mansyur (Bangilan),  h.3. Musli’ah (Kebon)

i. Mazinah (Kebon), memiliki keturunan :i.1. Yasin (Bangilan),  i.2. Khatimah (Brangkal),  i.3. Masfu’ (Kebon),  i.4. Habib (Tulung),  i.5. ‘Aisyah (Kebon),  i.6. Muniyatun (Kebon)

5. Shafiyah – Sroyo, yang berputera :

a. Ihwan (Sroyo

)b. Muthallib (Sroyo)

c. Najih (Sroyo)

d. ‘Aisyah (Sroyo)

e. Fatimah (Sroyo)

f. Umi Kultsum (Sroyo)

6. Siti Juwariyah – Dunganti, yang berputera :

a. Shafwan (Dunganti)

b. Sukri (Dunganti)

c. Imam (Dunganti)

d. Muthma’inah (Dunganti)

e. Umi Kultsum (Dunganti)

7. Yasin – Kebon, yang berputera :

a. Hamim (…), memiliki putera : a.1. Muhyidin (…),  a.2. Nadhir (…),  a.3. Nadhirah (…),  a.4. Muhib (…),  a.5. Mufidah (…)

b. Ahyar (Kebon)

c. Maimunah (Plumpang), memiliki keturunan : c.1. Maimun,  c.2. Abduh,  c.3. Musta’in,  c.4. Nafsad,  c.5. Mahrus,  c.6. Khalifahc.7. Ismah,   c.8. Dzikrullah

d. Khairul Anam (Kebon), memiliki putera : d.1. ‘Aisyah,  d.2. Sirajuddin,  d.3. Yasin,  d.4. Mufrihah,  d.5. Taslim

e. Nikmah (Kebon)

f.  Khairiyah (Brangkal), memiliki keturunan :  f.1. Abdul Ganif,  .2. Ramzah,  f.3. Bashirah,  f.4. Khazin,  f.5. Dewa,  f.6. Gufran,  f.7. Afifah,  f.8. Nurjanah

IV. ‘Aisyah + ‘Abdullah Umar

1.  Sabi’ati, yang berputera :

a. Sadeli (Laju)

b. Hayat (Gajah)

c. Jufri (Gajah)

2. Khalil – Kebon, yang berputera :

a. Siti Asiyah (Kebon)

b. Ahmad Ghazali (Kebon)

c. Dewa (Kebon)

d. Rofi’ah (Balen)

e. Sa’dullah (Kebon), memiliki putra : e.1. Yazid,  e.2. Umi,  e.3. Zamroni,  e.4. Sa’diyah 

f. Abdul Aziz (Kebon)

g. Miftahul Arifin (Kebon), memiliki keturunan : g.1. Wahyudin,  g.2. …Khalilullah,  g.3. Isti’adah

h. Husnul Khatimah (Kebon)3

. Muslihah – (…), yang berputera :

a. Juwairiyah (Wonokerto), memiliki putra :  a.1. Yasir,  a.2. Aminah,  a.3. Mahfud,  a.4. Mashudi

b. Muhammad Ghufran (Wonokerto), memiliki putra :  b.1. Muflihah,  b.2. Masruhah,  b.3. Abdul Gani,  b.4. Masruhan,  b.5. Muslihah,  b.6. Musbihah,  b.7. Mas’ulah,  b.8. Muslimah

c. Saidah (Wonokerto), memiliki keturunan :  c.1. Mahfud,  c.2. Sa’dullah,  c.3. Asiyah,  c.4. Zubaidah

d. Maskur (alm)

e. Masfu’ah (Wonokerto), memiliki putra :  e.1. Abdurrahim,   e.2. Abdul Gofur,  e.3. Muhirah,  e.4. Abdul Malik

f. Ahmad Marzuki (Wonokerto), yangberputra :  f.1. Muhammad Afifuddin,  f.2. Umi Azizah,  f.3. Muhammad Husnurrafiq,  f.4. Lathifah Nafsiyah,  f.5. Masrurah,  f.6. Muhammad,  f.7. Hakimah,  f.8. Agus Ahmad Fahim

g. Muhammad Syafi’ (Wonokerto), memiliki keturunan :  g.1. Mashud,  g.2. Mashuri,  g.3. Mas Ma’lumah,  g.4. Abdullah,  g.5. Laqiyah,  g.6. Ning Habibah

4. Mujtabi – Sumlaran, yang berputera : 

a. Mudhafir (Karang kambang)

b. Fathurrahman (Karang kambang)

c. Mujari (Karang kambang)

d. Khairul Anam (Karang kambang)

e. Sabi’ati (Lkarang kambang)

f. Shalihah (Karang kambang)

g. Mahsun (Karang kambang)

5. Muntaqa – …, yang berputera : 

a. Muhammad Ihsan

b. Nasuh (…)

c. Imran (Jenu)

d. ‘Aisyah (…)

e. As’ary (solo)

f. Mu’alimah (Gresik)

g. Mujib

V. Muqarrib + Ramlah

1. Hafisah, yang berputera :

a. Jamilah

b. Sarbini

c. Ma’rifah

d. Mashud

2. Haris, yang berputera : Siti Shafiyah

3. Mariah,

4. Khairah,

5. Yahya – Madiun, yang berputera :  Siti Asiyah

6. Masinah,

7. Siti Asiyah,

8. Ismail – Surabaya, yang berputera :

a. Siti Juwariyah (Surabaya)

b. Muhammad Hanafi (Tuban)

c. Siti Ralihah (Surabaya)

VI. Ibrahim (Palang)

VII. Mahbub (…),yang berputera :

1. Idris (…)

2. Mutamimah (…)

3. Siti Rahmah (Babat)

4. Muhammad (Bangilan)

Puisi Untuk Pak Koes

Bersama Pak KoesOrang bilang, sastra adalah media penghalus budi. Sastra menyentuh sisi lain dari diri manusia.  Sisi lain itu adalah jiwa, kalbu, dan hati nurani.  Dalam sebuah peziarahan ke Yogyakarta baru-baru ini (19 Januari 2008), disebuah toko buku kutemukan orbituari tentang Pak Koesnadi Hardjasoemantri, orang yang lewat perjumpaan singkat dengannya telah membuatku mencintainya, meninggalkan rekaman sejarah berharga yang ga mungkin terulang. Seorang Guru, Resi, Teladan, seorang Kakek yang bersahaja  dan rendah hati. Orang yang akan selalu kukenang dalam hati. Dalam bagian akhir orbituari tersebut, terdapat puisi-puisi yang dipersembahkan untuk mendiang dari  para sahabat dan semua yang mencintainya. Tiap baris, tiap bait yang kubaca membawaku pada perjumpaan dengan beliau yang begitu berkesan, meskipun begitu singkat. Begitu larut dalam tiap bait puisi,  bulir-bulir air mata jatuh tak tertahan. Rasa rindu bercampur haru, menguasai diri.

Aku akan selalu merindukannya

Aku akan selalu menghidupkannya dalam hati

Mendalami, meresapi, dan menjalankan ajaran-ajarannya

Karena dengan itulah dia akan selalu hidup

Untuk kesekiankalinya aku merasa kehilangan

Sampai harus menangis menahan rindu dan haru

Terima kasih Pak Koes…

Inilah persembahan dari para sahabat dan orang tercinta itu:

Disela-sela sayap ikan Pari:

In Memoriam Koesnadi Hardjasoemantri (1926-2007)

(Oleh Eka Budianta)

Dari sela-sela sayap ikan pari

pada suatu sore di akhir tahun

kulihat wajahnya bercahaya

Dengan kata-kata yang jernih

ia mengisi langit seribu bulan,

mendamaikan gunung dan samudra

Dari sela-sela sayap ikan pari

yang berseliweran di akuarium raksasa

kulihat Koesnadi, 80 tahun bersuara

Candi Borobudur tiba-tiba melintas,

rakyat jelata yang menunggu,

daun-daun menjanjikan hidup baru

Dari sela-sela sayap ikan pari,

kulihat hatinya menarikan Indonesia

lagu yang ikut digubah partiturnya

Bersama perbukitan selatan Pulau Jawa

dengan teluk dan selat kesayangan

Koesnadi telah bergerak dan bersuara

Dari sela-sela sayap ikan pari,

kita belajar terbang dengan merdeka

seperti Koesnadi memberikan hidupnya

  

Sajak Sederhana Buat Pak Koesnadi

(Oleh : Mustofa Bisri)

Begitulah sabda NabiMu,

Allah tidak merenggut ilmu

dari dada-dada

mereka yang berilmu

Tapi dengan mencabut nyawa

hamba-hamba yang dititipiNya ilmu

Semoga kepergianmu, Pak Koes

Bukanlah Tanda

lenyapnya ilmu

Dan orang-orang pun

Mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh

dan gagu

yang sesat dan menyesatkan

Sebab kepergianmu, Pak Koes

Telah meninggalkan murid-murid

yang insya Allah mampu

menyemaikan benih-benih ilmu

yang engkau tinggalkan

  

Pagi itu Engkau Pergi:

Kepada Profesor Koesnadi Hardjasoemantri

(Oleh: HM. Nasruddin Anshory Ch)

Guru, benarkah engkau telah pergi?

Kata-kata itulah yang terus kuucapkan sepanjang malam

Dalam gemuruh tadarus di gunung batu

Bersama ribuan pohon jati

Yang menjeritkan suara hati

Seribu gunung turut tafakur

Daun-daun mangga, mahoni, danakasia

Siap-siap bergugur

Mengiringi doa dan air mata

Agar kelak tumbuh tunas-tunas baru

Sebab sejak kecil telah terpahat petuah Ibu

Bahwa di seberang maut

Juga ada taman-taman rindu

Pagi itu, ya, pagi itu

Langit biru di atas Yogya makin membiru

Ketika beribu bunga, kabar duka dan harum cendana

Telah mengguratkan garis takdirnya

Guru,

isyarat itu telah datang padaku

Sebelum burung besi itu mengantarkan kepergianmu

Seorang lelaki berjubah putih

Telah kembali pada kemudi

Masih hangat sajadah terakhir mencatat

Keningmu yang basah air wudhu

Di subuh itu

Menaburkan wangi syahadat

Pohon-pohon cendana yang kau tanam itu

terus tumbuh

Menerjemahkan hidup dan keharuman

Tanpa harus berkeluh

dan bukkit-bukit tandus itu

Seakan sedang berdandan

Dengan warna hijau  dan wangi keringat petani

Bagaimana harus kutafsirkan hidup

Jika nafas harus sekeras cadas?

Bagaimana akan kuterjemahkan dahaga

Jika seluruh air sungai telah menjelma sampah dan tinja ?

  

Titipan

(Oleh: WS Rendra)

Seringkali aku berkata,

ketika orang memuji milikku,

bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,

bahwa mobilku hanya titipanNya,

bahwa rumahku hanya titipanNya,

bahwa hartaku hanya titipanNya,

bahwa putraku hanya titipanNya, tetapi

mengapa aku tak pernah bertanya,

mengapa Dia menitipkan padaku?

Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?

Dan kalau bukan milikku,

apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat,

ketika titipan itu diminta kembali olehNya?

ketika diminta kembali,

kusebut itu sebagai musibah,

kusebut itu sebagai ujian,

kusebut itu sebagai petaka,

kusebut dengan panggilan apa saja

untuk melukiskan bahwa itu adalah derita

Ketika aku berdoa,

kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,

aku ingin lebih banyak harta,

aku ingin lebih banyak mobil,

lebih banyak rumah,

lebih banyak popularitas,

dan kutolak sakit,

kutolak kemiskinan,

Seolah… semua “derita” adalah hukuman bagiku.

Seolah… keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti

matematika:

aku rajin beribadah,

maka selayaknyalah derita menjauh dariku,

dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,

dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti,

padahal tiap hari kuucapkan,

hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…

“ketika langit dan bumi bersatu,

bencana dan keberuntungan sama saja”

(Dipersembahkan untuk mengenang Kawanku, Sahabatku, Guruku,

Orangtuaku, Pimpinanku Pak Koesnadi)

  

Senyum Itu Pergi

(Oleh: D. Zawawi Imron)

Ia disemayamkan di Balairubf

Orang-orang berkumpul untuk menghormatinya

Dengan haru yang utuh

Hutan kecil Bulaksumur depan gedung itu ikut sembahyang

ketika jenazah disalatkan

Memang saat hidupnya jenazah itu,

Sering merasa bersalat dalam hutan

Berjamaah dengan jutaan pohon

Karena itu burung-burung berdatangan

Untuk melayat dan mengucapkan tahlil terakhir untuknya

Seakan taka da kefasihan yang bisa menampung

kedalaman rasa sayang yang bercampur duka

KEfasihan ada yang berupa setetes air mata

Dan paling tidak meleleh dalam dada

Dan aku tahu

burung-burung itu tidak berbasa-basi

Seperti sebagian manusia

Sebagaimana kematian pun bukan basa-basi

Bahkan bukan kebetulan

karena selembar daun kering

tidak akan gugur ke bumi tanpa izin Allah

Jenazah itu pasti tersenyum

Karena merasa mendapat anugerah

untuk menemukan “kesejatian”

secara tak terduga

Orang-orang boleh memandangnya sebagai malapetaka

Ia pergi ke sebuah alam baru

Yang tak penting lagi barat atau utara

Di sini pun bersujud untuk meraup makna

“karena itu, selamat jalan Pak Koes!

Selamat bertemu dengan rumah hakikat

habitatmu yang bukan mimpi

yang dulu kaupesan sambil melangkah

membetulkanmata angin

sambil mengajar anak-anakmu tersenyum

kepada hutan,

sungai,

pasir,

dan terumbu

Kaulah yang mengajarku

bahwa setangkai mawar tidak lebih mulia

daripada segenggam rumput yang rela dikunyah

anak domba yang kelaparan”

Kami kepunyaan Allah

Dan kepada Allah kami akan kembali

Semua akan mencatat

kepergian jenazah itu begitu indah

begitu khidmat

sehingga angin cepat berpencaran

kemana-mana

dan bercerita kepada mendung

kepada bukit, batu danlembah

bahwa senyum dan ketenangan itu

telah pergi untuk menemukan cahaya

Tapi senyum itu sekarang

seakan masih tertinggal di bumi

terbayang pada daun-daun

Bahkan sesekali seperti mengintai

dai balik tirai langit yang bairu

Pak Koes,

telah kau sempurnakan senyummu

Senyum yang terasa belum selesai

dan belum selesai

Anak-anakmu yang setia

pasti melanjutkan senyummu

Amin!

Antara Hidup dan Mati

Jika kau belum pernah merasakan berada antara hidup dan mati, maka percayalah bahwa benar kata Nabi, rasanya menyakitkan sekali, seperti disayat-sayat oleh ratusan, bahkan ribuan pedang. Beberapa waktu yang lalu, aku merasa berada antara ada dan tiada, antar hidup dan mati. Bahkan untuk sesaat aku merasa “well then, may be this is my last time life in this fucking world”. Untuk sesaat aku percaya bahwa Tuhan begitu merindukanku, sehingga tidak sabar untuk bertemu denganku.
Ya,,,malam itu tiba-tiba aku diserang sesak nafas yang luar biasa. Sulit sekali untuk bernafas. Bahkan untuk sesaat aku percaya nafasku telah terhenti. Sakitnya luar biasa. Luar biasa. Ada tabung oksigen disampingku, dengan selang yang terpasang di hidung yang harus mendukung pernafasanku. Dengan alat bantu seperti itu saja, pernafasanku masih separuh-separuh. Sakitnya luar biasa. Luar biasa.
Dokter memvonisku asma kronis (atau akut ya, aku lupa)…Oh God, setelah sebelumnya (bulan Juni) aku divonis ginjal dan hatiku rusak, vonis ini seolah-olah kembali membawaku ke jurang keputusasaan. Tuhan, apalagi yang kaumainkan terhadap diriku ini ???
Syukurlah (atau aku harus menyesalinya?) Tuhan masih berkenan menyelamatkan hidupku. Mungkin Tuhan masih sayang padaku, sehingga aku diberiNya kesempatan untuk hidup sekali lagi, agar aku dapat introspeksi dan memperbaiki hidupku yang rusak dan jauh dari keinginanNya. Atau justru mungkin Tuhan murka, sehingga aku diijinkan untuk terus berbuat dosa di dunia lebih lama lagi. Kalau memang harus kusyukuri, maka yang kusyukuri adalah kiriman seorang sahabat untukku. Jauh-jauh datang dari Jombang untuk menghadiri acara pernikahan seorang kawan di Jakarta harus tersita waktu untuk melarikanku ke UGD RS Sarjito. Dan menemaniku. Bahkan untuk biaya Rumah Sakit, dia juga yang menanggungnya. Aku sudah berpikir bahwa akhirnya ada juga seorang sahabat yang menemaniku di saat-sat terakhirku, hehehe…(makasih cup, u’re really best friend ever I had. I don’t know what happen to me if you weren’t there).
Kalau ada yang harus kusesali, bukanlah bahwa Tuhan menunda kematianku. Aku yakin Tuhan Maha Bijaksana, dan pasti punya rencana yang terbaik untukku. Tetapi yang kusesali, kemanakah kalian wahai orang-orang yang mengaku sebagai sahabat? Apakah seperti itu bentuk persahabatan yang kalian tawarkan kepadaku? Kemana kalian saat seharusnya aku butuh kalian? Lebih menyakitkan lagi, selama bertahun-tahun menghabiskan waktu bersama dengan banyak mimpi indah tentang persahabatan, tetapi ketika aku sekarat hanya seorang sahabat yang menemaniku. Sakit.
Tapi, seperti kata pepatah, kecewa hanya ada ketika kita banyak berharap. Dan aku salah ketika berharap pada kalian.
Memang, persahabatan mestinya dilandasi ketulusan dan altruisme, tanpa berharap apa-apa. Dalam konteks inilah saya melakukan kesalahan. Tetapi, kenapa kalian tidak memberikan ketulusan itu padaku? Ah, saya kembali kepada keyakinan lama, bahwa tidak ada ketulusan di dunia ini.

Kamase Go Internasional

Pagiku disambut dengan berita hangat dan menyenangkan. Kamase memulai debut manis di dunia Internasional dengan menyabet best ten dalam “kontes” penelitian ilmiah di Mumbai, India. Acara yang disponsori PBB dan Daimler-Chrysler itu mempertemukan dua budaya yang berbeda, dari developed country and developing country. Kamase, tim dari Indonesia berpartner dengan tim dari Curtin University, Australia. Terlepas dari adanya KKN (tim dari Curtin salah satunya mahasiswa dari Indonesia) dalam persekongkolan ini, tapi prestasi ini terasa sangat luar biasa. Luar biasa, karena aku ga pernah membayangkan bahwa apa yang kumulai 5 – 6 tahun lalu itu kini membuahkan prestasi yang gemilang. Meskipun saat ini aku (alumni) Kamase, tetapi apa yang mereka raih membuatku bangga luar biasa.
Keep moving forward guys…i’m proud of u…
Hidup Kamase, Hidup Energi Terbarukan, dan Jayalah Negeriku….

Negeri Anarkis

Entah apa yang terjadi dengan negeri ini. Seolah-olah tidak ada yang menyenangkan jika kita membicarakan negeri ini. Indonesia, yang katanya gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerta raharjo, justru seperti menunjukkan paradox of plenty dengan sangat kasat mata, suatu kenyataan yang ironis sebenarnya. Cerita-cerita yang tidak menyenangkan itulah yang terlontar dari mulut kawan-kawan dalam sebuah obrolan pagi di kantin kantor. Cerita dari masalah yang sangat kecil, sepele, hingga masalah yang masuk kategori “besar”.
Lihat aja di bunderan Cibiru, disana banyak kendaraan berhenti (padahal bukan tempat kendaraan berhenti), kemacetan terjadi, semrawut, preman banyak yang malak kondektur bus didepan mata anggota Polisi. Apa gunanya polisi disitu ? eh..”jangan salah, preman disana juga setor pada polisi disitu”, kata seorang kawan. Rupanya telah terjadi simbiosis mutualisme disana. Kendaraan umum ngetem seenaknya dipinggir jalan, kemacetanpun tak terelakkan. Pengendara motor jalan lewat trotoar yang membahayakan jalan. Trotoar yang mestinya untuk pejalan kaki, digunakan toko PKL. Susahnya, ketika mereka digusur, mereka berdalih telah dapat ijin dari pihak yang berwenang karena telah membayar sejumlah uang tertentu. Nah lho…
Bagaimana peraturan di bandara dikalahkan oleh sekelompok massa (tukang ojek), sehingga banyak tukang ojek berkeliaran di sekitar bandara yang seharusnya dilarang. Banyak taksi argo mulut berkeliaran disekitar bandara karena selingkuh dengan petugas keamanan bandara, bagaimana barang-barang bagasi dengan seenaknya masuk pesawat hanya dengan sedikit sogokan kepada petugas (padahal overload dapat menyebabkan kecelakaan pesawat). Perjudian dan perzinahan yang sialnya dilindungi “oknum” aparat. Flu burung yang ga pernah tuntas (Indonesia peringkat pertama dalam hal penanganan flu burung terburuk didunia). Sampai pada masalah jual beli kasus, mafia peradilan, ketidakadilan social, tersangka korupsi yang justru diangkat sebagai calon hakim agung (Prof. Ahmad Ali), kebakaran hutan dan ekspor asap, illegal logging, pengerukan sebagian pulau di Kep. Riau untuk dijual pada Singapura degan seijin Pemda, dan entah kasus apalagi yang ga bisa dihitung dengan jari.
Lebih enak hidup di Indonesia daripada di AS, kata seorang kawan. Yang pertama, Indonesia negeri yang sangat liberal. Gimana tidak, disini mau ngapain aja terserah. Mau ngrokok ditempat umum, silakan. Mau buka toko, monggo. Pokonya serba bebas. Kalau di AS, mau bikin warung aja harus ada ijin. Ada sertifikasi untuk barang yang dijual sehingga aman dan layak dikonsumsi masyarakat. Mau ngrokok ga boleh ditempat umum. Yang kedua, kalau di AS ngurus segala sesuatu, seperti KTP, SIM, kartu jaminan harus sendiri. Tapi di Indonesia, bisa dititipin lewat jasa calo. Kawanku sambil ketawa…Kalau itu sih bukan liberal, tapi anarkis.
Benarkah negeri ini sedemikian anarkis ? sebenarnya tidak, kalau definisi normatif dari anarkis kita gunakan secara konsisten. Di Indonesia, sudah banyak peraturan yang dibuat. Tetapi masalah ada pada implementasi yang lemah. Yah,,,itu kan sama saja dengan anarkis, kata seorang kawan lagi. Kita memang pandai membuat aturan, tapi kita juga pandai menyiasati dan mencurangi peraturan tersebut.
Ah entahlah, mungkin benar kata kawan tersebut. Negeri ini memang benar-benar anarkis. Kalau kita gunakan metafora Quranik, seandainya pohon di seluruh dunia kita jadikan pena dan lautan kita jadikan tinta, mugkin tidak akan cukup untuk menuliskan masalah-masalah yang menimpa negeri ini. Hehehe….

Di Balik Cerita Sejarah

Ada banyak versi ketika berbicara tentang Syech Lemah Abang alias Syech Siti Jenar. Ada yang melihat dari sudut pandang konflik antarmahzab, antara ‘ulama fiqh dengan ‘ulama tasawuf. Ada yang melihat dari sudut pandang politik. Bahkan ada yang meragukan sosok Syekh Siti Jenar sebagai sosok sejarah, dan hanya mitos belaka. Tak heran bila kemudian cerita tentangnya sangat simpang siur, bahkan cnderung mengalami mistifikasi.
Ternyata ada versi lagi dari sejarah tersebut. Syekh Siti Jenar seorang ‘ulama Syi’ah dan berusaha untuk mendirikan kerajaan Islam Syi’ah merdeka dari Demak. Inilah yang mendasari konflik antara Wali Sanga (yang pro-Demak) dengan Syekh Siti Jenar yang menjadi pendukung utama Kebo Kenanga yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh Demak dan mendirikan kerajaan Pengging yang beraliran Syi’ah. Akibat konflik tersebut jelas, yaitu pihak Pengging mengalami kekalahan telak, dengan kematian Kebo Kenanga di tangan Sunan Kudus, dan ditangkapnya Syekh Siti Jenar oleh kerajaan Demak.
Syekh Siti Jenar-pun diadili dan dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan makar (bukan karena menyebarkan ajaran wahdatul wujud). Masalahnya tidak berhenti hanya sampai disini saja. Akibat pemberontakan tersebut, Sunan Gunung Jati dan Wali Sanga berencana untuk menumpas dan membinasakan pengikut Syi’ah. Tapi rencana ini dicegah olah Haji Abdullah Iman alias Walangsungsang (Wong Ageung Cirebon Seuwue Siliwangi), dengan alasan bahwa pengikut mahzab Syafi’i dan Syi’ah di Cirebon sama banyak, sehingga semua berhak untuk menganut mahzab yang diyakininya.
Untuk meredam gejolak pengikut Syekh Siti Jenar yang banyak, maka makam Syaikh Lemah Abang dipindahkan dari Kemlaten ke kompleks makam keluarga kraton di Gunung Sembung. Untuk membina para pengikutnya yang berjumlah banyak, Sunan Kalijaga ditugaskan untuk menggantikan Syekh Siti Jenar, sehingga ia beralih mazhab dari Hanafi menjadi Syi’ah.
Dari sejarah versi diatas, ada tiga hal yang menarik. Yang pertama adalah bahwa pendapat bahwa Syekh Siti Jenar adalah ‘ulama Syi’ah. Beliau memang dikenal sebagai seorang sufi, tapi bahwa Syekh Siti Jenar seorang bermahzab Syi’ah perlu dibuktikan kebenarannya. Kalaupun ini benar, maka ini merupakan fenomena yang menarik yang mungkin bisa menjelaskan corak hubungan antara mahzab Sunni dan Syi’ah di Indonesia, khususnya di tanah Jawa.
Yang kedua, peralihan mahzab dari Hanafi ke Syi’ah oleh Sunan Kalijaga. Terlepas dari benar tidaknya kesyia’ahan Sunan Kalijaga, setidaknya fenomena perpindahan mahzab bukanlah hal yang luar biasa. Bukan hanya antarmahzab Sunni, bahkan antara mahzab Sunni dan Syi’ah. Seperti yang ditulis oleh Quraish Shihab dalam bukunya Sunni – Syi’ah Bergandengan Tangan, Mungkinkah ?, menyebutkan titik-titik perbedaan dan persamaan antara Sunni – Syi’ah yang pada intinya tidak keluar dari koridor Islam, sehingga semestinya antara Mahzab Sunni dan Syi’ah dapat tercipta persaudaraan, tidak harus terjadi permusuhan sehingga harus saling menumpas dan membinasakan seperti apa yang direncanakan oleh Wali Sanga di masa lampau. Sehingga perpindahan mahzab bukanlah hal yang luar biasa dan tidak perlu dipermasalahkan, seperti yang dicontohkan oleh Sunan Kalijaga.
Yang ketiga, jika Kebo Kenanga murid Syaikh Lemah Abang adalah seorang Syi’ah, apakah anaknya, Mas Karebet alias Jaka Tingkir juga seorang penganut mahzab Syi’ah. Kenapa hal ini begitu penting?. Karena aku perlu tahu apakah aku memiliki nenek moyang bermahzab Syi’ah. Di lingkungan keluarga besarku (dari pihak Ibu) ada kepercayaan/keyakinan bahwa kami berasal dari satu nenek moyang, yaitu Jaka Tingkir alias Mas Karebet, yang makamnya belakangan kuketahui ada di Lamongan (itulah kenapa Persela Lamongan dijuluki Laskar Jaka Tingkir). Jika memang benar Mas Karebet bermahzab Syi’ah, maka secara tidak langsung (dan jauh) aku memiliki darah mahzab Syi’ah, hehehe….

Mengenang Prof. T. Jacob

Saya benar-benar kaget ketika mengetahui bahwa Prof. Teuku Jacob telah tiada dua bulan yang lalu (17 Oktober). Saya mengetahuinya dalam kolom pojok Kompas yang memuat berita kematian seorang guru besar antropologi UI Prof. Suparlan, yang disebut meninggal dalam kesendirian dan kesunyian seperti yang dialami oleh Prof. T. Jacob. Aneh, disaat arus informasi sedemikian cepat, saya baru mengetahui berita lelayu ini 2 bulan setelahnya.
Pertemuan dengan tokoh-tokoh seperti Prof. Teuku Jacob selalu istimewa. Pertemuan itu terjadi hanya 2 jam di rumah beliau, di Sekip Yogyakarta, saat saya menjadi Steering Committee HPTT ke-56 Fsayaltas Teknik UGM. Kesan pertama terhadap beliau adalah bahwa beliau orangnya perfeksionis. Dan karena sifat perfeksionis tersebut saya harus kena damprat. Seorang teman (perempuan) menelpon beliau minta ijin untuk ketemu. Ketika beliau melihat yang datang adalah saya, beliau bilang :”Kemarin yang menelpon perempuan, kok yang datang laki-laki”, sergah beliau tanpa memersilakan duduk lebih dulu. Terus selama dua jam saya “dikuliahi” tentang profesionalisme, intelektualitas, logika –beliau marah-marah ketika saya mengucapkan kata-kata yang secara logika rancu, dan kata itu adalah “terkait”, kemahasiswaan –yang menurut beliau sekarang kualitas mahasiswa sangat rendah, kemanusiaan –sambil menceritakan ide dan gagasan beliau dalam pembangunan kampus UMS terpadu yang “manusiawi” dan “integratif” serta mengembalikan konsep universitas kepada asalnya. Dan kita banyak diskusi tentang seminar tersebut hari itu, tetang tema dan pembicara seminar, tentang arah, tujuan dan sasaran seminar, bahkan berbicara tentang kondisi bangsa secara umum. Benar-benar diskusi yang menarik. Bukan karena tema diskusi, tapi karena penempatan beliau yang menyejajarkan diri dengan saya yang hanya mahasiswa biasa ini (perlsayaan yang sama pernah saya dapatkan ketika bertemu Prof. Kusnadi Harjasumantri). Diakhir pertemuan tersebut beliau memberi komentar kepadsaya, “jarang ada mahasiswa yang mampu bertahan berhadapan dengan saya selama ini”. Tentu saja saya anggap sebagai pujian, dan saya bangga dipuji oleh orang sekelas Prof. Teuku Jacob.
Prof. T. Jacob merupakan salah satu ilmuwan bangsa generasi pertama Layaknya ilmuwan generasi pertama, hidupnya sangat sederhana, komitmen yang tinggi terhadap ilmu yang ditekuninya, yaitu Paleoantropologi (ini mengherankan, karena beliau adalah seorang dokter tetapi membenci darah). Istilah ekstrimnya, buku-buku menjadi istri pertamanya. Inilah tipologi ilmuwan sejati, bukan ilmuwan salon. Beliau adalah ilmuwan generasi pertama yang meneliti Pithecantropus erectus. Beliau pernah menjabat Rektor UGM periode 1981 – 1986, tepat sebelum Prof. Kusnadi Hardjasumantri menjabat.
Karena komitmennya terhadap ilmu yang ditekuninya, banyak yang mengatakan beliau menjalani semacam asketisme intelektual. Sengaja menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan luar kampusnya, tidak peduli dengan dunia di luar ilmu yang ditekuninya, semacam sosok di menara gading kehidupan. Tapi menurutku itu tidak benar. Menjauhkan diri tidak berarti beliau tidak mengerti dan tidak peduli pada kehidupan diluar dirinya. Banyak tulisan-tulisan beliau di media massa, baik local (seperti Kedaulatan Rakyat) maupun nasional, membuktikan bahwa beliau sangat memahami persoalan hingga ke intinya. Dan masyarakat selalu menjadi perhatian utama beliau. Bukankah itu salah satu bentuk kepedulian beliau terhadap edukasi masyarakat ?
Mungkin benar, bahwa tipologi ilmuwan generasi pertama sangat mencintai ilmunya melebihi cinta pada dirinya sendiri. Itulah mengapa ilmuwan seperti mereka kurang begitu memerhatikan kesehatan. Dan kematian mereka yang begitu mengagetkan, dalam kesunyian dan kesendirian memperkuat dugaan tersebut.
Tetapi, dibalik itu semua, banyak teladan yang ditinggalkan oleh mereka kepada genarasi berikutnya, termasuk kita, bukan?