Sabtu, 26 April 2014, tercipta sejarah di kalangan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Hiroshima University. Konon katanya, ini pertama kali kegiatan gowes dengan menempuh jarak jauh, dan kota tujuannya adalah Kure, sebuah kota pelabuhan di prefektur Hiroshima yang berjarak sekitar 30 km dari Higashi-hiroshima.
Perjalanan dimulai ketika aku bangun kesiangan. Seperti biasa, selepas shalat shubuh aku tidur lagi dan tahu-tahu bangun saat jam sudah menunjukkan jam 06.50 padahal janjian ketemu jam 07.30.Ada waktu 40 menit tersisa. Karena butuh 30 menit nggowes dari apato ke kampus, maka hanya tersisa 10 menit. Langsung kuambil hape dan hubungi Andhang (sang korlap) kalau aku baru bangun, dan tolong ditunggu. Setelah mandi secepatnya dan sarapan seadanya, dan masukin semua barang ke dalam tas, langsung cabut ke meeting point di kampus. Walhasil, sampai kampus jam 08.00, dan telat setengah jam. Di kampus sudah menunggu anggota rombongan delapan orang: Teguh, Wisnu Adi, Arif, Afit, Andhang, Romadhon, Roni, dan Andi.
Oke, setelah berdoa bersama, perjalanan panjang-pun dimulai dari jam 08.11. Belum 5 km jalan, masalah sudah datang menghampiri. Jam 08.45, ban sepeda Roni kempes dan bocor. Jadilah kita berhenti memperbaiki sepeda itu. Tidak seperti di Indonesia, yang dengan mudah dapat ditemui tukang tambal bab, di sini lain sekali kondisinya. Kita harus menambal ban itu dengan kemampuan kita sendiri. Setelah berjibaku dengan peralatan seadanya selama 1,5 jam lebih, kita berhasil memperbaiki sepeda itu. Yang menarik selama proses penambalan ban itu adalah kita didatangi oleh seorang nenek yang tinggal di seberang jalan tempat kita menambal ban. Mungkin dia heran, apa yang dilakukan oleh sekelompok anak muda di pinggir sebuah gudang di depan rumahnya. Setelah nanya ini itu, dan ngobrol santai dengan sang nenek, nenek itu kembali ke rumah. Tak selang berapa lama, kita dipanggil oleh nenek itu, dan ternyata kita dibuatin kopi dan dikasih snack. Wow, what a surprise and thank you for the hospitality, Obachan…
Perjalanan dilanjutkan lagi. Selepas insiden tambal ban itu, medan jelajah menanjak sangat tajam. Tajam sekali. Sepedeku terasa sangat berat, dan keluar sedikit bunyi dari roda depan. Lantas, kita pun memutuskan untuk berhenti sebentar di atas, istirahat sambil memeriksa sepedau. Ternyata, roda depan sepeda agak menempel ke cakram, sehingga terasa lebih berat putarannya dan keluar bunyi gesekan. Jadilah insiden kedua, kita bongkar lagi roda depan sepeda dan membenarkan posisinya supaya lebih laju dan tidak keluar bunyi gesekan. Mungkin butuh waktu sekitar setengah jam untuk istirahat dan memperbaiki roda depan sepedaku.
Setelah semua beres, perjalanan dilanjutkan. Tak berapa lama, kita sampai di turunan yang breathtaking. Turunan tajam dan berbelok-belok. Sebenarnya pemandangannya luar biasa indah, di kiri jalan terbentang lansekap alam yang elok. Tetapi karena kita harus fokus ke jalan, kita tidak bisa leluasa menikmati alam ciptaanNya itu, apalagi mengabadikannya. Sebelah kanan tebing (bukit) yang menjulang, tertutup sebagian dengan pepohonan sehingga tampak hijau. Di sebelah kiri lembah yang tidak begitu dalam dengan sungai yang air jernihnya yang mengalir, danau, dan pepohonan dengan rupa daun yang beraneka warni, sungguh memanjakan mata sebenarnya.
Insiden pertama dan kedua
Beberapa kota kecil (mungkin lebih tepatnya kampung) dilewati selama perjalanan ini. Meski kota kecil, tetapi infrastruktur sarana dan prasarana umum tampak demikian bagus tersedia. Jalanan tetap saja mulus. Kota-kota kecil itu juga relatif bersih, malah sangat bersih. Lahan pertanian yang kering, hanya terlihat ditanami sayur-sayuran. Di beberapa tempat terlihat pertanian dengan menggunakan rumah kaca. Tanaman yang tidak seberapa banyak itu juga terlihat ditutup dengan semacam kelambu, mungkin untuk mencegah serangan hama. Yang menarik, sepanjang jalan yang terlihat hanya orang-orang tua (manula) yang melakukan aktifitas, hanya sedikit terlihat aktifitas anak muda. Aku ga tahu, pada kemanakah anak muda di kota-kota kecil itu. Apakah mereka pada mengadu nasib ke kota (urbanisasi), atau yang lain. Tapi yang jelas, hal ini seperti membuktikan tentang profil demografi Negara Jepang yang memang didominasi oleh orang tua.
Entah sudah berapa kilo dilalui, dan entah berapa kota kecil yang telah dilalui, dan entah berapa tanjakan yang telah ditaklukkan, kita istirahat di Honjou Lake Par, untuk sekedar meregangkan badan dan shalat. Selepas shalat dan istirahat sebentar, perjalanan dilanjutkan, dan tepat setengah 2 siang kita nyampe di Kure.
Karena sudah siang, jauh melebihi target yang ditetapkan, maka jalan-jalan ke Kure pun hanya sebatas di museum kapal. Dari sana, aku baru paham kalau kapal perang terbesar dijamannya, Yamato, dibuat di galangan kapal di Kure, dan Kure pernah menjadi basis pembuatan kapal-kapal tempur Jepang lainnya selama PD II. Kita sempatkan masuk ke museum kapal selam, yang mirip dengan yang ada di Surabaya. Didalamnya dipajang miniatur kapal perang Yamato, ranjau laut dan aktifitas penghapusan ranjau laut, serta teknologi kapal perang terbaru. Menarik, karena museum itu diatur sedemikian sehingga membentuk sebuah narasi yang indah. Tidak menunggu lama, perjalanan kembali ke Saijo harus segera dilakukan, karena waktu sudah sore. Jadi, acara jalan-jalan ke Kure praktis hanya dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kita mampir dulu di sungai Nikogawa untuk shalat ashar, setelah makan siang di Sukiya.
Perjalanan pulang mengambil rute yang berbeda dari rute keberangkatan. Kali ini jarak yang ditempuh lebih jauh, tetapi dengan medan yang tidak seberat keberangkatan. Banyak kejadian yang tidak terduga selama perjalanan pulang ini. Diantaranya adalah pedal kanan sepeda Andhang lepas, sehingga beberapa kali harus mengalami perbaikan. Perbaikan dilakukan dengan berbagai macam cara, mulai dari dikasih plastik, aluminium kaleng, kain hingga diikat dengan tali untuk memasang pedal yang lepas. Selesai satu jenis perbaikan, sepeda dipakai dan tidak sampai 100 meter pedal lepas lagi. Begitu berkali-kali hingga kita banyak berhenti dan memperbaiki sepeda. Setelah menyerah dengan kondisi tersebut, maka diputuskan perjalanan tetap dilanjutkan dengan Andhang hanya memakai satu pedal. Apabila jalanan menanjak dan Andhang tidak kuat menggenjot sepedanya, maka kita berjalan hingga jalanan kembali menurun dan Andhang bisa menggenjot sepedanya dengan hanya satu kaki.
Insiden selanjutnya adalah sepeda Wisnu terkena paku sehingga mengalami kebocoran di tiga titik sekaligus. Insiden terjadi pada malam hari, dan perjalanan masih menyisakan 16 km lagi ke arah Saijo. Saat itu jam sudah menunjuukan jam 9.00 malam. Setelah perjuangan menambal ban selama 1,5 jam, perjalanan dilanjutkan di tengah kegelapan malam, saat jalanan sudah mulai sepi. Di salah satu ruas jalan, karena gelap dan jalan di depan tidak terlihat, aku hamper nabrak trotoar jalan. Belum sempat nabrak, rem cakram depan kutekan kuat-kuat, dan hasilnya tetap: aku tetep jatuh terguling-guling. Untungnya hanya sedikit lecet di lengan Doppelganger-ku hehe..
Jam 11.30 malam, kita semua sudah nyampe di kampus, Sepertinya perjalanan ini meninggalkan banyak kenangan, sekaligus antusiasme untuk kembali menjelajah Jepang dengan nggowes.
Perjalanan yang mengesankan, menyenangkan, dan menegangkan
Next trip: Takehara 🙂