Negeri Anarkis

Entah apa yang terjadi dengan negeri ini. Seolah-olah tidak ada yang menyenangkan jika kita membicarakan negeri ini. Indonesia, yang katanya gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerta raharjo, justru seperti menunjukkan paradox of plenty dengan sangat kasat mata, suatu kenyataan yang ironis sebenarnya. Cerita-cerita yang tidak menyenangkan itulah yang terlontar dari mulut kawan-kawan dalam sebuah obrolan pagi di kantin kantor. Cerita dari masalah yang sangat kecil, sepele, hingga masalah yang masuk kategori “besar”.
Lihat aja di bunderan Cibiru, disana banyak kendaraan berhenti (padahal bukan tempat kendaraan berhenti), kemacetan terjadi, semrawut, preman banyak yang malak kondektur bus didepan mata anggota Polisi. Apa gunanya polisi disitu ? eh..”jangan salah, preman disana juga setor pada polisi disitu”, kata seorang kawan. Rupanya telah terjadi simbiosis mutualisme disana. Kendaraan umum ngetem seenaknya dipinggir jalan, kemacetanpun tak terelakkan. Pengendara motor jalan lewat trotoar yang membahayakan jalan. Trotoar yang mestinya untuk pejalan kaki, digunakan toko PKL. Susahnya, ketika mereka digusur, mereka berdalih telah dapat ijin dari pihak yang berwenang karena telah membayar sejumlah uang tertentu. Nah lho…
Bagaimana peraturan di bandara dikalahkan oleh sekelompok massa (tukang ojek), sehingga banyak tukang ojek berkeliaran di sekitar bandara yang seharusnya dilarang. Banyak taksi argo mulut berkeliaran disekitar bandara karena selingkuh dengan petugas keamanan bandara, bagaimana barang-barang bagasi dengan seenaknya masuk pesawat hanya dengan sedikit sogokan kepada petugas (padahal overload dapat menyebabkan kecelakaan pesawat). Perjudian dan perzinahan yang sialnya dilindungi “oknum” aparat. Flu burung yang ga pernah tuntas (Indonesia peringkat pertama dalam hal penanganan flu burung terburuk didunia). Sampai pada masalah jual beli kasus, mafia peradilan, ketidakadilan social, tersangka korupsi yang justru diangkat sebagai calon hakim agung (Prof. Ahmad Ali), kebakaran hutan dan ekspor asap, illegal logging, pengerukan sebagian pulau di Kep. Riau untuk dijual pada Singapura degan seijin Pemda, dan entah kasus apalagi yang ga bisa dihitung dengan jari.
Lebih enak hidup di Indonesia daripada di AS, kata seorang kawan. Yang pertama, Indonesia negeri yang sangat liberal. Gimana tidak, disini mau ngapain aja terserah. Mau ngrokok ditempat umum, silakan. Mau buka toko, monggo. Pokonya serba bebas. Kalau di AS, mau bikin warung aja harus ada ijin. Ada sertifikasi untuk barang yang dijual sehingga aman dan layak dikonsumsi masyarakat. Mau ngrokok ga boleh ditempat umum. Yang kedua, kalau di AS ngurus segala sesuatu, seperti KTP, SIM, kartu jaminan harus sendiri. Tapi di Indonesia, bisa dititipin lewat jasa calo. Kawanku sambil ketawa…Kalau itu sih bukan liberal, tapi anarkis.
Benarkah negeri ini sedemikian anarkis ? sebenarnya tidak, kalau definisi normatif dari anarkis kita gunakan secara konsisten. Di Indonesia, sudah banyak peraturan yang dibuat. Tetapi masalah ada pada implementasi yang lemah. Yah,,,itu kan sama saja dengan anarkis, kata seorang kawan lagi. Kita memang pandai membuat aturan, tapi kita juga pandai menyiasati dan mencurangi peraturan tersebut.
Ah entahlah, mungkin benar kata kawan tersebut. Negeri ini memang benar-benar anarkis. Kalau kita gunakan metafora Quranik, seandainya pohon di seluruh dunia kita jadikan pena dan lautan kita jadikan tinta, mugkin tidak akan cukup untuk menuliskan masalah-masalah yang menimpa negeri ini. Hehehe….

Tinggalkan komentar